1

Siapa sangka kepulanganku yang mendadak dari Taiwan membuatku amat terkejut saat di kampung halaman.

Aku mendapati istriku gila dan anakku sudah meninggal dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua keluargaku bertingkah tak biasa?

 

Istriku Gila?

 

"Kok mendadak banget San? Gak niat perpanjang aja kontraknya?" tanya Mas Pandu, orang yang selama ini banyak membantuku selama di Taiwan.

 

"Enggak Mas, saya emang udah niat mau pulang sih, mau kasih kejutan ke anak istri saya," jawabku yakin.

 

"Oh ya udah kalau itu udah jadi keputusan kamu."

 

Aku pun keluar dari ruangan itu, lalu berjalan tergesa menuju mess untuk segera membereskan baju-bajuku.

 

5 tahun merantau menjadi TKI di Taiwan  tanpa pernah pulang sehari pun membuatku sangat merindukan anak dan istriku, makanya sekarang aku memilih tidak memperpanjang kontrak kerja karena aku rasa usahaku mencari pundi-pundi rupiah selama ini sudah cukup, aku ingin membuka usaha saja di kampung halaman agar bisa menghabiskan banyak waktu juga  bersama Lusiana dan Nasir.

 

"Lusiana dan Nasir pasti seneng aku pulang tanpa memberi mereka kabar, ini bakal jadi kejutan buat mereka." 

 

Aku tersenyum seraya memandangi mainan mobil-mobilan yang kemarin baru saja kubeli itu. 

 

Selesai memberskan baju, kuraih ponselku. Sudah seminggu ini entah kenapa nomor Lusiana tidak bisa dihubungi, padahal aku ingin menanyakan kabar Nasir karena mungkin tahun ini anakku akan masuk TK, tapi ya sudah biarkanlah, mungkin hp Lusiana rusak.

_______

 

Pukul 3 sore aku sudah mendarat di bandara Soekarno-Hatta, rasa rindu yang membuncah membuatku tak banyak menghabiskan waktu lagi ke mana-mana, dari bandara aku langsung melaju menuju rumahku.

 

Ibu dan kedua kakakku serta adik bungsuku juga pasti kaget dengan kedatanganku, mereka akan sangat senang sekali pastinya karena selama aku merantau merekalah yang banyak membantuku menjaga anak dan istriku.

 

Sambil menenteng tas baju, kedua kakiku langsung menuju teras rumah saat bang ojek sampai di pekarangan rumahku. 

 

Rumah tampak sepi dari luar, entah kemana mereka semua pergi.

 

"Assalamu-"

 

Brak!

 

Belum selesai aku mengucap salam tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam.

 

Cepat kutengok kaca rumah dan betapa terkejutnya aku saat melihat Lusiana tengah dijambak oleh Kak Deti di dekat bufet tv.

 

"Nih balasan buat kamu yang banyak ngeyel!" sengit Kak Deti.

 

"Ampun Kak, ampun." Lusiana istriku meringis kesakitan sambil terisak-isak.

 

Tak lama datang ibuku membawa segayung air namun kulihat air itu mengepulkan uap panas.

 

"Mandi nih pake air panas biar kamu tahu rasa kalau ayam itu mahal harganya, kamu malah bikin gosong begitu."

 

"Jangan Bu, jangan!" Lusiana makin histeris memohon dan bersujud di kaki ibuku.

 

Hatiku nyeri, kaget dan tentunya tak terima, kenapa istriku diperlakukan begitu? Apa kesalahan Lusiana sampai ibuku segitu marahnya? Tanpa menunggu lagi cepat kutendang pintu rumah hingga pintu itu terbuka lebar.

 

Darrr!

 

Ibu dan Kak Deti langsung terkesiap, mereka tampak terkejut saat melihatku datang, mata mereka sampai tak berkedip barang sebentar.

 

"Bang Sandi," isak Lusiana seraya menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. 

 

Kulihat wajah istriku yang dekil dan kumal, matanya bengkak dan sembab. Refleks kulemparkan tas baju yang masih kupegang itu ke atas sofa, lalu setengah berlari ke arah istriku.

 

"Lusiana, ayo bangun! Ada apa ini ya ampun." Kuraih bobot istriku yang kurus kering bahkan nyaris seperti hanya tersisa tinggal tulang belulang saja.

 

Seperti sangat ketakutan, Lusiana dengan cepat memeluk tubuhku dari belakang, ia bersembunyi di balik punggungku.

 

"Lusiana Lusiana tenanglah, ada Abang di sini," ucapku.

 

"San-di?" Ibuku tergagap. Pun dengan wajah kak Deti yang kulihat tiba-tiba sudah berubah pias.

 

"Iya ini Sandi, kenapa? Ibu kaget? Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan istriku? Kenapa kalian memperlakukan istriku begini?" cecarku.

 

Ibu menelan salivanya, mulutnya terlihat sulit untuk bicara.

 

"Itu loh anu ... tadi ... lagi ada kesalahpahaman antara kita," sahut Kak Deti kemudian.

 

"Kesalahpahaman apa? Apa perlu kalian perlakukan istriku begini? Dan apa ini? Air panas buat apa, Bu?"

 

Mulut mereka terkatup-katup.

 

"Itu tadi ... air ini ...."

 

Tak mau buang-buang waktu mendengarkan alasan mereka, kubawa saja istriku ke dalam kamar. Niat hati ingin menenangkannya dulu di kamar tapi kenyataan yang kulihat justru membuatku lebih terkejut.

 

"Astagfirullah, apa ini?" 

 

Kulihat kamarku sangat berantakan, piring, gelas plastik, nasi kering dan baju-baju semuanya tercecer di lantai.

 

Tak ada ranjang atau pun kasur, kulihat di sana hanya ada rantai besi dan sebilah bambu.

 

Saat aku mencoba masuk bau menyengat langsung menguar ke hidungku, bau apek, pesing dan segala macamnya. Kulihat kamarku juga sudah sangat berdebu dan kotor sekali. 

 

Entah apa yang sudah terjadi, ibu jadikan apa kamarku ini? Kenapa berubah seperti kandang bebek begini?

 

"Takut, Bang, takut." Lusiana di punggungku semakin gemetar dan ketakutan.

 

"Ada apa ini Lusiana? Tenanglah, tenanglah, ada Abang di sini." Aku berusaha terus meyakinkan Lusiana sambil memeluknya. Tapi yang membuatku heran Lusiana justru semakin menangis ketakutan.

 

"Ibuuu! Kak Deti!" Aku teriak.

 

Ibu dan kak Deti langsung berjalan mendekati kami, wajah mereka tampak cemas dan semakin pias.

 

"Apa ini, Bu? Apa yang udah terjadi? Kenapa kamarku jadi berantakan begini? Kenapa ada rante dan bambu juga di dalam?" Aku mencecar mereka.

 

"Katakan ada apa ini? Dan kenapa Lusiana istriku seperti sangat ketakutan begini?" 

 

"Kamar ini ... kami jadikan tempat buat memasung istrimu San," jawab Kak Deti.

 

Terkejut bukan main, aku kontan menatap istriku dan kamar itu secara bergantian.

 

"Dipasung? Buat apa? Emangnya istriku kenapa?"

 

"Istrimu gila San."

 

"Kak Deti!" Aku teriak tak terima. 

 

Bagaimana bisa istriku gila? Sebelum aku berangkat semuanya baik-baik saja, bahkan beberapa minggu terakhir aku masih meneleponnya dan omongannya masih nyambung. 

 

Tapi kenapa tiba-tiba mereka bilang istriku gila? Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?

 

"Nyatanya istri kamu sekarang gila Sandi, makanya kami kurung dia di kamar ini, dari pada dia merusak rumah warga?" kata Kak Deti lagi.

 

Di belakangku Lusiana menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

"Gila? Kalian bilang istriku gila? Kenapa istriku bisa gila? Terus kenapa kalian gak kabari Sandi soal ini?" cecarku lagi.

 

Aku yakin sekali pasti ada yang udah gak beres di rumah ini. Kalau enggak, kenapa istriku tampak sangat ketakutan? Dan kenapa wajah ibu dan Kak Deti juga seperti sedang berbohong menyembunyikan sesuatu?

 

"Ceritanya panjang Sandi, nanti Ibu ceritain. Tapi ini kenapa kamu pulang gak bilang-bilang?" Ibu malah balik bertanya, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.

 

 

 

"Ayo duduk dulu aja di depan, biar enak ngomongnya," sahut Kak Deti. Ia berusaha membawaku ke depan.

 

Kami akhirnya duduk, tak kecuali Lusiana ia juga ikut duduk di sampingku walau kedua tangannya tak mau lepas dari lenganku.

 

"Jadi gini San, sebetulnya istri kamu itu mulai gila sejak anakmu meninggal." Kak Deti mulai bicara lagi.

 

Teg. Bagai ditebas parang tajam, hati dan persendianku langsung lemas dan ngilu, sejurus kemudian detak jantungku langsung naik frekuensinya.

 

"Apa? Anakku meninggal? Nasir maksud Kakak?" Setengah tak percaya aku bertanya.

 

Kak Deti menganggukkan kepala, wajah dan sorotnya kini terlihat sangat sedih, sementara itu ibuku yang bicara.

 

"Iya Sandi, Nasir udah meninggal, maaf kami gak kasih kamu kabar soal ini karena kami takut kamu syok dan malah gak fokus kerja di sana, karena Ibu pikir kamu masih akan 3 tahun lagi kerja di Taiwan."

 

Aku menggeleng tak percaya, bisa-bisanya ibuku berpikir demikian.

 

"Ibu ini ngomong apa? Mungkin Ibu juga tahu gak ada yang lebih penting bagi seorang ayah selain hidup anaknya. Dan harusnya kalian juga tetep beritahu Sandi soal kabar duka ini," ujarku menatap mereka serius.

 

Ibu dan kak Deti tak bicara lagi, mereka saling diam menundukan kepala.

 

"Emangnya kenapa Nasir meninggal? Apa dia sakit?" Aku bertanya lagi meski persendianku masih terasa lemas mendengar kabar meninggalnya anakku.

 

Ibuku meremas jari-jemarinya, di samping beliau kak Deti seperti memberi ibuku kode, entah apa yang sedang mereka maksudkan aku juga tidak paham.

 

"Kenapa diem, Bu?"

 

"Dia tenggelam saat mandi di sungai," jawab Kak Deti tanpa ragu.

 

"Apa? Tenggelam?" Mataku membulat. Rasa syok memenuhi rongga dadaku hingga aku merasakan sesak yang teramat.

 

Kupegangi dadaku untuk sedikit meredakan rasa nyeri ini. 

 

Jauh-jauh aku pulang ingin bertemu anakku dan ingin menghabiskan banyak waktu dengannya, sekarang mereka bilang anakku tenggelam dan sudah meninggal? Ya Allah bagaimana bisa semua itu terjadi.

 

Dan istriku? Sekarang istriku juga gila, ada apa ini? Kenapa semuanya terjadi secepat ini?

 

Kugosok kepalaku dengan kasar, kini pandanganku juga berkabut karena genangan air mata yang tak bisa kutumpahkan di depan mereka.

 

Sementara di sampingku Lusiana terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ia maksudkan tapi besar dugaanku sepertinya ia sedang menyangkal kesaksian ibu dan kak Deti, entahlah.

 

"Iya bener, Nasir tenggelam saat sedang main, saat kami mencarinya tahu-tahu dia sudah ditemukan mengambang di sungai," ucap Kak Deti lagi.

 

"Eng--gak, enggak," sahut Lusiana pelan dengan suara bergetar dan kaku.

 

Mendengar Lusiana bicara ibu dan kak Deti menatap istriku tajam, tapi tak lama raut wajah mereka berubah manis saat mereka menyadari aku tengah memperhatikan gerak-gerik mereka.

 

Ibuku lalu bangkit dan mengambil tempat duduk di kursi dekat Lusiana.

 

"Udahlah Lusiana, yang sudah terjadi biarkanlah terjadi, ikhlaskan saja, gak usah dipikirin lagi, kamu jadi stres begini 'kan akhirnya?" kata beliau lembut seraya mengelus rambut Lusiana yang ikal dan acak-acakan.

 

"Iya kasihan Lusiana, kami udah coba kasih dia pengertian tapi ya gimana? Namanya juga seorang ibu mungkin jiwanya sangat terguncang." Kak Deti menimbrung lagi dengan nada suara sama lembutnya.

 

"Eng--gak, enggak," bisik Lusiana pelan, dapat kurasakan ia amat ketakutan saat berada di dekat ibuku.

 

"Lusiana ini emang begini, kadang-kadang dia ketakutan, kadang-kadang dia ceria senyum-senyum sendiri, ya--begitulah gak salah 'kan kalau kami bilang dia gila?" kata Ibuku lagi.

 

Aku diam saja, aku ingin tahu sebetulnya ada apa di balik kabar berita yang membuatku syok ini.

 

Anakku meninggal mendadak, sementara Lusiana tiba-tiba terguncang jiwanya, saat aku baru saja datang kulihat ibu dan kakakku tengah menyiksa istriku tapi sekarang mereka terlihat sangat baik dan lembut, entahlah ada apa di balik semua ini.

 

"Sebetulnya Ibu juga mau marah, siapa sih yang gak merasakan sakit saat cucu nya kecelakaan sampai meninggal begitu? Entah ini keteledoran Lusiana sebagai ibunya atau bahkan kami sebagai keluarganya, tapi yang jelas kami sangat sedih dan menyesal atas kepergian Nasir," ujar Ibuku lagi.

 

Aku masih tetap diam menyimak. Tapi tak lama kuputuskan untuk membawa Lusiana beristirahat saja karena kulihat istriku sudah benar-benar ketakutan di dekat ibu.

 

"Udah sekarang Sandi mau istirahat dulu, kasihan Lusiana, tolong beresin kamarnya dan balikin lagi kasurnya kayak dulu," titahku sambil memijit kening.

 

Ibu dan kak Deti tak segera beranjak.

 

"Kenapa diem?" tanyaku lagi.

 

"Anu itu loh San, kasur kamunya itu loh udah rusak, waktu itu disobek-sobek sama Lusiana waktu dia lagi ngamuk," jawab Ibu.

 

Aku menyeringai lalu melirik ke arah Lusiana. "Enggak enggak," katanya. Hanya itu yang sejak tadi ia ucapkan padaku, entah maksudnya apa.

 

"Ya udah Sandi tidur di kamar Lula aja." 

 

Aku akhirnya bangkit membawa istriku ke kamar Lula adik bungsuku.

 

Di kamar itu, kutenangkan Lusiana, kuberi dia minum, kusisir rambutnya dan kugantikan bajunya.

 

"Nanti kita mandi ya, sekarang kita ngobrol dulu," ucapku seraya membetulkan anak rambut yang menghalamgi mata Lusiana.

 

Lusiana mengangguk, sementara air matanya terus saja bercucuran membasahi pipinya yang dekil.

 

"Kenapa bisa begini sih Lus? Kenapa Lusiana gak pernah cerita sama Abang kalau Nasir meninggal? Seminggu lalu kita masih teleponan kan?" ucapku pelan, amat pelan agar Lusiana tidak merasa ketakutan.

 

 

Tapi Lusiana hanya diam, ia tak menjawab atau pun bicara dan yang lebih membuatku tak tega itu kadang-kadang sorot matanya kosong, kadang-kadang ia juga menangis.

 

Padahal aku sudah ada di sini, apa sebegitu beratnya beban pikiran Lusiana sampai ia tak fokus begini?

 

"Lusiana udah makan belum?" tanyaku.

 

Ia menggeleng pelan. 

 

"Pagi udah makan belum?" Aku memastikan lagi.

 

lagi-lagi ia menggelengkan kepala, "belum dapat jatah," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.

 

Aku terhenyak. Belum dapat jatah? Ya Allah kasihan istriku, sudah sore masa iya dia belum juga diberi makan sama ibu.

 

Atau apa jangan-jangan selama ini keluargaku memang memperlakukan Lusiana seperti ini? Pantas saja badannya sampai kurus kering begini.

 

"Kenapa gak minta sama ibu?"

 

"Takut, Bang," jawabnya lagi dengan air mata yang kembali mengaliri pipi.

 

"Takut kenapa? Selama ini Abang kirim uang buat kamu dan Nasir makan, kenapa kamu harus takut? Minta saja." 

 

Lusiana diam, aku pun bangkit.

 

"Sebentar Abang ambilkan makan dulu, habis makan kita baru mandi ya."

 

Lusiana menggelengkan kepala lalu memegang tanganku agar aku tetap duduk di sampingnya.

 

"Takut, Bang," katanya.

 

"Sebentar aja, cuma mau ambil makan ke dapur, Abang janji gak akan lama-lama."

 

Perlahan cengkraman tangan Lusiana mengendur. Aku cepat-cepat pergi ke dapur. Di sana tak sengaja kudengar ibu dan Kak Deti sedang bicara.

 

"Iya kamu bener Tut, bahaya kalau sampe si Sandi tahu kebenarannya, bisa abis kita," kata Ibu yang sedang duduk di kursi makan. 

 

"Terus gimana ini, Bu? Sialan emang si Sandi, kenapa juga harus pulang mendadak gitu sih? Bikin repot aja, bukannya kasih kabar dulu atau apa kek," balas Kak Deti, kedua kakinya terus saja mondar-mandir di depan meja kompor sambil menggigit bibirnya sedikit.

 

Kebenaran? Kebenaran apa yang mereka maksud? Kenapa aku gak boleh tahu? Dan kenapa kepulanganku justru masalah bagi mereka? Harusnya mereka seneng 'kan? Apa jangan-jangan semua ini ada kaitannya sama Lusiana dan Nasir? 

 

"Sandi? Ada apa? Ngapain berdiri di sana?" tanya Kak Deti yang tak kusadari ternyata ia sudah menyadari keberadaanku di dekat partisi ruang makan.

 

Aku gegas melangkah mendekati mereka.

 

"Sandi mau minta makan buat Lusiana," ucapku seraya mengambil piring dari rak.

 

Setelah itu kubuka tutup saji. Ada ayam goreng, ada sayur sop, tempe goreng dan dadar telur. Hatiku kembali nyeri, kata Lusiana ia belum diberi jatah makan dari pagi, tapi di sini masih banyak sekali makanan. Apa mereka gak kasihan sedikit pun sama istriku?

 

Akhirnya, sengaja kuambil semua jenis lauk sedikit-sedikit ke dalam piring Lusiana.

 

Sementara mereka berdua kulihat tampak tak rela makanannya kuambil.

 

"Sebanyak itu San?" tanya Kak Deti.

 

"Iya, kasihan Lusiana kalian belum kasih dia makan dari pagi 'kan?"

 

Mereka bergeming sambil menelan ludah dengan wajah pias.

 

"Kenapa Lusiana gak dikasih makan dari pagi? Ini udah sore, apa kalian gak kasihan sama istriku? Badannya jadi kurus kering begitu," cecarku sebelum aku pergi.

 

"Emm ... anu itu loh, istrimu bukannya gak dikasih makan, tapi kita tuh harus nyari waktu yang tepat San. Karena gak jarang istrimu itu malah tumpahin nasinya ke lantai, sayang 'kan? Lihat aja di kamar, banyak nasi berserakan gitu karena istrimu itu suka sekali marah-marah kalau kami suruh makan," jawab Ibu panjang lebar.

 

Aku tak bicara lagi. Meski mereka kasih alasan yang panjang dan lebar tapi entah mengapa rasanya aku tak percaya begitu saja.

 

Selesai mengambil makanan di dalam tutup saji, aku membuka kulkas.

 

Penuh sekali. Kulkas ibu penuh dengan makanan ringan dan sayuran lengkap dengan buah-buahan juga. Tentu saja penuh, bagaimana tidak? Aku kirim sebagian gajiku untuk mereka hidup di kampung dengan harapan ibu dan keluargaku bisa mengurus dan menjaga istri serta anakku, tapi kenyataannya malah membuatku sesak.

 

Tanpa berpikir panjang, kuambil anggur, pisang, apel, susu UHT dan segelas air putih dingin. Kutaruh semua makanan yang sudah kuambil itu dalam nampan.

 

"Oh ya, tolong panasin air, Lusiana mau mandi biar dakinya pada rontok harus mandi air anget 'kan?" ujarku sebelum akhirnya aku menghilang di ambang pintu.

 

Tak ada penolakan atau apapun saat aku memberi mereka perintah, mereka hanya diam melihatku membawa nampan berisi banyak makanan untuk Lusiana.

 

"Nah 'kan, ribet kalau si Sandi udah di rumah ini, sial," dengus Kak Deti.

 

Langkahku kembali mati. Akhirnya kuputuskan bersembunyi di balik tembok dekat partisi, aku ingin mendengar kira-kira apa yang akan mereka bicarakan lagi.

 

"Semoga aja si Sandi itu mau berangkat lagi ke Taiwan, alamat gak punya lagi transferan banyak nih Ibu kalau dia di kampung."

 

"Iya bener, kita jadi gak bisa makan enak lagi," sahut Kak Deti.

 

Aku menggeleng tak percaya. Ternyata begitu kelakuan ibu sama kakak-kakaku selama ini? Ternyata mereka hanya ingin uangku saja begitu? Keterlaluan.

 

Sedang serius mendengarkan mereka, tak lama kudengar suara Lula marah-marah di kamar depan.

 

"Ngapain kamu di sini? Dasar orang gila,  berani kamu ya masuk kamarku? Awas! Turun kamu gila!" sentaknya.

 

Aku setengah berlari menghampiri mereka, aku yakin Lula marah-marah karena istriku sedang istirahat di kamarnya.

 

"Sini kamu gila! Jorok banget ih, kasurku jadi bau 'kan?!" sentaknya lagi. Anak berseragam SMA itu tanpa segan menarik tangan Lusiana secara paksa.

 

Bruk!

 

Kulihat Lusiana didorongnya hingga istriku itu terjerembab ke bawah.

 

"Astagfirullah Lula!" Refleks mulutku berteriak.

 

Sontak anak itu terkejut dengan mata yang membulat.

 

"Jadi gini cara kamu perlakukan kakak iparmu, hah?!" Aku menyentak sambil meraih istriku kembali.

 

"K-Kak Sandi?" gumamnya dengan air muka yang mendadak pucat dan dingin.

 

 

"Iya ini Kakak, kenapa kamu? Kaget? Hah?"

 

Lula menggelengkan kepala, wajahnya cemas karena perlakuannya yang kasar pada istriku sudah kupergoki.

 

"Dia ini Kakak iparmu, gimana bisa kamu bersikap begini? Atau apa jangan-jangan selama ini kamu memang bersikap seperti ini?" 

 

"M-maaf Kak, tadi Lula kaget kenapa Kak Lusiana ada di kamar Lula," katanya tergagap.

 

"Kaget katamu? Tapi apa perlu kamu bersikap begini? Sekolah 'kan kamu!" Aku terus menyentaknya. Rasanya kesal sekali aku melihat anak SMA sudah berani main kasar pada orang yang lebih tua. Mau jadi apa dia nantinya kalau lagi sekolah aja dia gak ada takutnya begini.

 

Sementara itu ibu dan Kak Deti datang menghampiri.

 

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Ibu.

 

"Ajarin nih si Lula, anak sekolah sikapnya kasar begitu, mau jadi apa dia nanti!" sengitku kesal.

 

"Tap-pi Bu, si gi-"

 

Ibu menarik lengan Lula sebelum anak itu selesai bicara, Lula akhirnya bungkam.

 

"Mulai sekarang kamar ini akan jadi kamar kami, biar si Lula tidur di kamar bekas kami," tegasku.

 

Lula menyeringai, "loh gak bisa gitu dong, Kak," protesnya. Ibu kembali menarik lengannya.

 

"Kenapa gak bisa? Selama ini kamu tidur enak di atas kasur 'kan? Dari mana uangnya kalau bukan dari Kakak?" Aku mengerling ke arah ibu.

 

Sengaja menyindir mereka, agar mereka sadar sampai sekarang hidup mereka yang layak bahkan cenderung lebih itu berkat siapa?

 

Bukan niat mengungkit atau tidak ikhlas memberi ibu dan sodara-sodaraku uang, tapi saat tadi kudengar sendiri obrolan mereka di dapur, aku jadi sensi dan muak sendiri.

 

"Tapi kalau kamu gak setuju gak apa-apa, biar Kakak dan Kak Lusiana tidur di kamar Ibu atau di kamar Kak Deti aja," kataku lagi.

 

Cepat Kak Deti melambai tangan, "eh jangan dong, gak enak sama suami Kakak masa pindah kamar sih." 

 

"Ya udah kami di kamar Ibu."

 

Ibuku juga menggeleng kepala, "jangan-jangan, meningan udah di kamar Lula aja, biar si Lula Ibu yang urus," tampiknya.

 

Lula mengatupkan bibir. Wajahnya benar-benar tak santai seperti ingin berontak, tapi mau bagaimana lagi? Semua orang gak ada yang mau mengalah.

 

"Terserah," katanya kemudian sambil berlari ke kamar Ibu dan membanting pintu.

 

"Itulah kalau si Lula selalu dimanjain, jadinya begitu, gak punya sopan-santun sedikit pun," pungkasku seraya mengambil nampan berisi makanan yang tadi sempat kusimpan di atas meja.

 

Aku lalu membawa Lusiana masuk kembali ke kamar Lula.

 

Di dalam kamar Lusiana kembali menangis, lalu dipegang lagi bagian lututnya, kasihan mungkin Lusiana sangat kesakitan karena tarikan si Lula yang terlalu kencang sampai menghantam lantai.

 

"Sakit ya Lus lututnya?" Aku bertanya sambil berjongkok di depan lutut Lusiana.

 

Perlahan kunaikan daster lusuh yang sudah banyak bolongnya itu hingga ke bagian atas lutut. Niat hati ingin melihat seberapa besar luka lebam akibat benturan yang tadi Lula lakukan, tapi aku malah menemukan hal yang membuatku lebih terkejut.

 

"Astagfirullah Lusiana, ini apa? Dan ini? Dan ini?" Aku melihat banyak sekali luka lebam dan merah di bagian paha istriku, entah ini luka bekas apa dan siapa yang melakukannya.

 

Tak berhenti sampai di sana, aku lalu mengecek bagian punggung Lusiana, benar saja, luka-luka memar yang sama juga terdapat di sana, hampir memenuhi punggung Lusiana.

 

"Aw sakit, Bang," kata Lusiana, ia mencoba menghindari tanganku.

 

"Sebentar Lusiana, ini kamu kenapa? Siapa yang udah lakuin ini? Siapa yang berani sakitin kamu sampai begini?" cecarku sambil terus mencari di bagian-bagian lainnya.

 

Lusiana kembali menangis, "perih Bang, perih."

 

Gak bener, semua ini pasti ada yang gak bener. Kuteliti lagi dengan baik luka-luka di paha dan punggung Lusiana.

 

"Ini seperti bekas pukulan kayu Lus, apa kamu dipukul pakai kayu?" tanyaku menatapnya serius.

 

"Bambu," jawabnya pelan dengan sorot mata yang sangat ketakutan.

 

Bambu? Apa maksud Lusiana ia dipukul pakai bambu? Jangan-jangan bambu yang ada di kamar itu ...? Astagfirullah. Keterlaluan kalau sampai itu bener.

 

Walau menurut mereka istriku gila, tapi apa pantas istriku dipukul pakai bambu sampai memar-memar begini?

 

"Kenapa kamu dipukul pakai bambu? Apa jangan-jangan karena kamu teriak-teriak terus ya?"

 

Lusiana menggeleng kepala lalu kembali menangis.

 

"Jawab Lus, jangan begini, sebenarnya kamu kenapa?" 

 

Tapi Lusiana tak bicara atau menjawab pertanyaanku, hanya matanya saja yang terus mengeluarkan air mata sementara bibirnya juga kadang senyum-senyum sendiri.

 

Ya Tuhan aku jadi bingung, gimana  caranya aku bertanya sama Lusiana? Sementara aku harus tahu sebenarnya kenapa istriku dipukuli? Dan siapa pelakunya? Tapi sekarang rasanya sulit sekali aku mendapatkan informasi yang jelas dari istriku karena dia tak bisa fokus dan jiwanya sedang benar-benar terganggu.

 

Baiklah, kutarik napas panjang-panjang, kuhembuskan perlahan. Aku kembali menatap istriku dan memegang kedua bahubya agar Lusiana bisa berkonsentrasi.

 

"Lusiana, lihat Abang!"

 

Ia mengangkat wajah.

 

"Bilang sama Abang, siapa yang udah mukul kamu? Dan kenapa kamu dipukuli?"

 

Lusiana diam sejenak, ia tampak sedang mengingat-ngingat sesuatu.

 

"Bilang Lus, jangan takut lagi ya, ada Abang di sini sekarang." Aku meyakinkannya lagi sambil terus mengguncang kedua bahunya.

 

"Ibu, Kakak, Adek, semuanya ...," ucapnya kemudian sambil menghitung jari jemarinya.

 

 

Tatapannya kembali kosong, seperti sedang menerawang sangat jauh.

 

"Semuanya? Jadi semua orang suka pukulin kamu?" Aku memastikan lagi.

 

Lusiana kembali menatapku, ia lalu mengangguk, air matanya kemudian jatuh mengaliri pipinya yang dekil.

 

Aku paham bagaimana perasaanya jika memang benar semua orang melakukan kekerasan sama Lusiana aku bersumpah akan membuat mereka semua bersujud di kaki Lusiana.

 

Tak kecuali ibu, entah kenapa ibuku sekejam itu pada Lusiana? Apa karena Lusiana bukanlah anak orang kaya seperti yang beliau harapkan begitu?

 

Lusiana menangis lagi kali ini semakin kencang, jujur saja semua itu membuatku semakin kesulitan saat aku mengintrogasinya.

 

Tapi aku tak menyerah, kebenaran harus kuketahui dengan jelas. "Lusiana Lusiana tenanglah, sekarang katakan sama Abang, kenapa kamu dipukul?" Aku kembali mengguncang kedua bahunya.

 

Untuk sesaat ia kembali diam dan kembali berpikir.

 

"Gak mau mandi," jawabnya seraya kembali menangis dan sibuk menyeka air matanya.

 

Aku menyipitkan mata, "gak mau mandi saja sampai dipukul?" 

 

"Mandi jauh, sungai, sungai, Bang," katanya lagi, Lusiana lalu memegangi kepalanya seperti sangat kesakitan.

 

"Nasiiir ... Nasiiir!" Lusiana makin histeris dan terus berteriak memanggil nama anakku.

 

"Lus, Lus, kamu tenang dulu, tenang dulu. Ada Abang di sini." Aku memeluknya erat, walau bau apek dari rambutnya menyengat ke hidungku.

 

Tetapi Lusiana lalu ambruk ke sisi ranjang.

 

"Lusiana gak gila, Bang, Lusiana gak gila, Lusiana gak mau mandi Bang, gak mau mandi Bang, Lusiana takut,"  ucapnya lagi dengan tatapan kosong.

 

Ya Tuhan, sakit sekali rasanya hatiku, kenapa istriku sekarang begini? Ia pasti benar-benar terpukul dengan kepergian anak semata wayang kami.

 

Aku lalu duduk di lantai bersamanya.

 

"Lusiana, Abang tahu kamu sangat terpukul, kepergian Nasir pasti sangat mendadak dan membuat kamu merasa sangat bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini memang udah takdirnya, jangan terlalu disesali Lus, nanti kamu malah tambah parah, terus kalau kamu sakit Abang sama siapa?" ujarku panjang lebar. Tak terasa air mata juga lolos di pipiku. 

 

Aku lalu ambruk di pangkuan Lusiana.

 

"Kenapa kamu begini Lus? Abang sedih, Abang pulang dari Taiwan jauh-jauh cuma mau melanjutkan hidup sama kamu, tapi kamu nya malah sakit Lus."

 

Lusiana tak bicara tetapi air matanya terus saja jatuh ke rambutku dan perlahan kurasakan tangannya mulai membelai rambutku.

 

"Abang, Lusiana enggak gila, Nasir enggak tenggelam, Bang," katanya pelan.

 

Aku pun bangkit dan kembali duduk di sampingnya.

 

"Gak tenggelam? Gimana maksudnya?" tanyaku serius, tapi lagi-lagi Lusiana malah menangis.

 

Kutarik napas dalam-dalam, aku memang harus sabar dan pelan-pelan, aku tidak boleh gegabah meski aku sangat penasaran dengan apa yang diucapkannya soal kematian anakku, tapi kalau aku terburu-buru Lusiana pasti malah tambah akan merasa takut dan sedih.

 

Kutengok nampan berisi makanan dan air yang kutaruh di atas nakas, sampai lupa tadi aku akan memberinya makan dan minum dulu. Mungkin nanti saat perutnya sudah terisi Lusiana juga akan merasa lebih tenang.

 

"Ya udah sekarang makan dulu ya." Kuambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya itu.

 

"Lusiana aja, Bang," katanya kemudian seraya mengambil piring dan sendok yang tengah kupegang dengan cepat. 

 

Aku sampai terkejut, tapi kubiarkan saja, mungkin Lusiana memang ingin makan sendiri tak mau disuapi.

 

Dengan cepat ia lalu memasukan nasi serta lauk pauknya itu ke dalam mulut seperti orang yang sangat kelaparan.

 

"Astagfirullah Lus, jangan cepet-cepet begini, nanti gusimu bisa luka," ucapku sambil berusaha mengambil kembali piring berisi nasi itu dari tangannya, tapi dengan cepat Lusiana menariknya lagi.

 

"Laper Bang, laper," katanya seraya terus memasukan sendok demi sendok yang penuh ke dalam mulut.

 

Ya Tuhan hatiku kembali sakit rasanya, istriku benar-benar kelaparan atau memang dia biasa bertingkah begini?

 

"Minum Bang, minum." 

 

Aku segera mengambil segelas air dingin yang tadi kubawa. Dan cepat direguknya hingga tandas tak tersisa.

 

"Kamu haus banget apa Lus?"

 

Dia hanya mengangguk sambil terus sibuk melahap makanannya.

 

"Pelan-pelan aja Lus, masih banyak di dapur kalau kamu mau."

 

Lusiana tak mengindahkan, setelah nasi sepiring itu habis, ia lalu mengambil susu dan buah-buahan yang kubawa juga.

 

Hap hap hap. Dalam waktu 5 menit saja semua makanan itu sudah ludes tak tersisa.

 

Aku melongo, setengah tak percaya, nasi sepiring penuh, pisang satu serip, anggur kira-kira setengah kilo dan susu UHT 1 liter habis dalam waktu sesingkat itu?

 

"Kamu laper banget Lus? Apa emang ibu gak pernah kasih kamu makanan enak kayak gini?"

 

Lusiana menggeleng, "gak boleh makan enak, makan garem aja," jawabnya dengan tatapan yang kembali kosong.

 

Ia bersender di sisi ranjang.

 

Aku kembali terhenyak, walau emosinya tak stabil bahkan mereka bilang istriku gila, tapi entah kenapa aku sangat percaya dengan semua yang diucapkannya.

 

Lebih-lebih saat tadi kudengar sendiri bagaimana ibu dan kak Deti itu bicara di dapur.

 

"Jadi selama ini kamu cuma dikasih makan sama garem gitu maksudnya?" tanyaku memastikan.

 

Lusiana mengangguk, kemudian kembali menangis.

 

Ya Allah kenapa keluargaku sangat keterlaluan? Sebetulnya ada masalah apa mereka sama istriku?

 

 

"Lusiana, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusiana sedang menangis.

 

Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya.

 

"Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep-" Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya.

 

"Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusiana, Abang cuma ... kesel sama keluarga Abang."

 

Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusiana gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.

 

Lusiana kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu, "Lusiana gak gila Bang, Lusiana gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.

 

Aku berusaha menenangkannya. Kupeluk ia, kuciumi keningnya juga.

 

"Iya iya Abang percaya kok Lusiana gak gila, Lusiana sehat, Lusiana baik-baik aja."

 

Setelah Lusiana sedikit tenang aku lalu membawanya mandi, kasihan badannya sudah dekil banget gak beda jauh sama ODGJ yang sering kulihat di jalanan, entah ibuku tidak memandikannya berapa bulan, aku pun tidak tahu tapi jika kucium dari bau nya memang menyengat sekali.

 

"Bang, Lusiana takut." Lusiana menghentikan langkahnya saat sudah di luar kamar.

 

"Kenapa takut? Ada Abang di sini, Lusiana gak usah takut lagi ya."

 

Kubawa ia perlahan, untunglah di dapur tidak ada siapa-siapa jadi Lusiana tidak ketakutan lagi untuk melangkah ke kamar mandi.

 

Di kamar mandi air hangat sudah disiapkan Kak Deti dalam ember. Segera kumandikan istriku, kuberi sabun, sampo dan sikat gigi tentunya.

 

"Ya ampun Lusiana, ini kamu gak mandi berapa bulan sih? Kok kotor banget," tanyaku sambil sibuk mengguyurkan air pada kepalanya.

 

Lusiana tak menjawab, ia justru terlihat senang bermain-main dengan air seperti anak kecil.

 

Kemudian ia berteriak, "Nasiiir sini, Nak!"

 

Hatiku mencelos ada luka terselubung yang kemudian membentuk kepompong. Sakit sekali rasanya, sakit lebih dari yang bisa kugambarkan hingga tak terasa sudut mataku basah oleh air mata.

 

"Nasiiir!" teriaknya lagi.

 

Aku mengusap air di sudut mata kemudian berbisik di dekat telinganya, "Nasir lagi tidur, jangan teriak-teriak dulu ya."

 

Barulah setelah itu Lusiana diam, tetapi sorot matanya kini kembali kosong.

 

"Aw perih Bang." Ia meringis kesakitan tatkala air sabun mengenai punggungnya.

 

"Sakit banget ya Lus? Sebentar ya, kalau kamu gak mandi lukamu malah bisa infeksi."

 

Lusiana mengangguk, kali ini seperti memahami apa yang kuucapkan padanya.

 

Butuh waktu hampir 1 jam aku di kamar mandi, semua daki-daki dan kotoran di tubuh Lusiana sangat mengerak dan susah hilang, mungkin aku perlu beli spons khusus atau sabun khusus perontok daki agar badan Lusiana kembali bersih seperti dulu.

 

Setelah memandikan Lusiana aku memakaikannya baju baru, baju yang kubelikan dari Taiwan tepatnya.

 

Karena saat kubuka lemari baju Lusiana sudah tak ada baju bagus yang tersisa, semuanya robek, lusuh dan bahkan kotor karena berantakan di lantai kamar ber rantai itu.

 

"Bagus, Bang," ucap Lusiana sambil menciumi lengan bajunya.

 

"Bagus 'kan? Sekarang udah seger?" 

 

Ia mengangguk. Aku tersenyum getir, kuraih pipi istriku.

 

"Maafkan Abang ya karena gak bisa jagain kamu."

 

Lusiana diam, kemudian menundukan kepalanya tetapi sejurus kemudian lagi-lagi dia tertawa seperti ada yang lucu di depannya.

 

Hatiku kembali tersayat. Ya Tuhan, benarkah istriku ini gila?

 

"Lusiana ayo antar Abang ke makam Nasir," pintaku kemudian. Ia lalu diam menatapku.

 

"Makam?" tanyanya seperti tak memahami apa yang kumaksud.

 

"Iya makam, makam anak kita."

 

Lusiana menggeleng. Aku menarik napas berat kucoba menghadapi dirinya lebih sabar lagi.

 

"Ya udah ayo ikut Abang."

 

Lusiana lagi-lagi menolak ketakutan saat akan dibawa keluar kamar.

 

"Gak apa-apa Lusiana, ada Abang di sini."

 

Kubawa istriku pelan-pelan meski langkahnya makin berat dan gemetar, kebetulan di teras rumah kak Deti dan ibu sedang sibuk bermain ponsel masing-masing, segera kuhampiri mereka.

 

"Bu, kami mau ziarah ke makam Nasir, ada di sebelah mana, ya?" tanyaku pada beliau.

 

Ibu mengangkat wajah menatapku dan Lusiana. "Mau pada ke makam Nasir?"

 

"Iya."

 

"Di taman pemakaman umum blok E10."

 

Aku pun segera membawa istriku ke sana dengan hanya berjalan kaki karena letak makam yang ibu maksud tak terlalu jauh dari rumah, ya mungkin hanya berjarak sekitar berapa puluh meter saja.

 

Selain itu rasa rinduku pada kampung halaman membuatku betah berlama-lama menghabiskan banyak waktu seperti ini, aku juga berharap Lusiana akan merasa lebih baikan saat kubawa ia jalan-jalan keluar rumah sambil menghirup udara di sore hari.

 

Tepat pukul 5 sore kami sampai, kutatap pembaringan terakhir anakku tanahnya masih merah, bunga-bunga juga masih bertabur di atasnya meski sudah mulai layu dan mengering.

 

Kulantunkan do'a dan kata-kata terakhirku untuknya meski setiap melihat nisan papan nya ada rasa sakit yang menyelubung hingga ke ulu.

 

Di sampingku Lusiana bergeming, ia kemudian memeluk gundukan tanah merah itu sebelum akhirnya ia menangis juga di atasnya.

 

Rasa pilu yang teramat kulihat jelas dalam isakannya, kehilangan seorang anak memang hal terberat bagi manusia bergelar orang tua, tak heran jika hal itu sampai membuat istriku stres bahkan gila kata mereka.

 

"Maafin Bunda ya, Sir," lirihnya. Kutengok istriku sekali lagi.

 

Katanya istriku gila sampai harus dipasung tapi kenapa aku seperti merasa ia baik-baik saja? Hanya memang emosinya naik turun dan tak terkendali.

 

Atau apa perlu besok kubawa saja dia ke dokter untuk memastikan keadaannya? Istriku benar gila atau hanya sedang mengalami stres berat.

 

"Sir, Bunda udah bilang kamu jangan jauh-jauh dari Bunda, di dekat kita banyak orang jahat, tapi kamu nya gak denger kenapa, Nak?" isaknya pelan, nyaris tak terdengar oleh telingaku andai aku tak cepat mendekati wajahnya untuk memberi dia semangat.

 

Kuelus punggung Lusiana, "Nasir lagi bobo, kita pulang dulu ya, besok ke sini lagi."

 

 

Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Nasir.

 

Di tengah jalan langkah Lusiana terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso.

 

"Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak.

 

"Bakso? Lusiana mau bakso?" 

 

Lusiana mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.

 

Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya.

 

"Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.

 

Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusiana.

 

"Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi."

 

"Enak Bang, Lusiana suka bakso."

 

Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia tidak kekurangan apapun. 

 

Tapi untuk memakan semangkok bakso saja istriku harus menunggu sampai aku pulang dulu? Siapa yang tak sakit? Ini istriku, wanita yang kupilih sendiri dan kuambil baik-baik dari kedua orang tuanya untuk kujadikan teman hidupku, tapi kenapa keluargaku tak bisa menyayanginya seperti mereka menyayangi keluarga sendiri?

 

Tatkala ia sedang melahap lagi semangkok baksonya kubelai kepalanya.

 

"Kasihan, emang kamu gak suka makan bakso kalau Abang lagi di Taiwan?"

 

Ia menggeleng polos, "Ibu marah."

 

Aku menarik napas berat.

 

Entah mengapa saat di luar rumah inilah aku merasa Lusiana terlihat lebih baik, emosinya juga tidak naik turun seperti saat di rumah, ia juga lebih nyambung saat kuajak bicara.

 

Saat aku sedang menunggu Lusiana menghabiskan baksonya, kulihat Kak Noni kakak pertamaku bersama anaknya yang sudah gadis memarkirkan motornya di depan sebelah kios bakso ini.

 

Aku tak cepat bangkit untuk menyapa, kubiarkan saja dulu, kasihan juga jika Lusiana harus kutinggal walau hanya ke kios sebelah.

 

"Bu, ada lauk sisa 'kan? Seperti biasa." Terdengar suara Kak Noni mulai bicara.

 

Saat itu kios bakso dan kios sebelah yang menjual nasi warteg sedang sepi, jadi obrolan kak Noni dengan sang pemilik warteg terdengar jelas di telingaku.

 

"Ada nih, 10 ribu aja," kata sang pemilik warteg.

 

"Mahal banget."

 

"Isinya banyak itu, ada pepes usus sisa kemarin juga sama sayur kangkung."

 

"Hilih besok-besok yang sederhana aja bisa kan, Bu? Jangan pepes, mahal, cuma buat dikasih ke orang gila ini," kata Kak Noni.

 

Teg!

 

Mendengar ucapannya, benakku langsung menduga, jangan-jangan orang gila yang dimaksud Kak Noni adalah Lusiana istriku? Kupasang telinga lebih tajam lagi.

 

"Ya sisanya cuma itu Mbak Non, kemarin warteg ludes, saya gak masak lagi." 

 

"Ah ya udahlah saya bayarin."

 

"Buat orang gila yang mana sih Mbak Non? Rajin banget pake ngasih makan orang gila segala?" Si pemilik warteg bertanya lagi.

 

"Ada orang gila di rumah Ibu saya."

 

Tepat dugaanku, ucapan Kak Noni memperjelas semuanya, ia memang membeli lauk sisa kemarin itu untuk diberikan pada Lusiana istriku.

 

Jadi memang seperti ini cara mereka memperlakukan istriku? Kejam memang kejam mereka itu.

 

Padahal aku kurang baik apa? Saat aku di Taiwan Kak Noni itu sering memelas meminjam uang untuk bayaran sekolah anaknya yang SMA itu, kuberi tanpa aku berharap ia mengembalikannya karena aku pikir apalah arti uang jika dibandingkan kebaikan yang mereka lakukan untukku.

 

Kupikir Kak Noni, Kak Deti serta ibu bisa menjaga dan menyayangi anak istriku dengan baik, tapi kenyataan yang kutahu hari ini sungguh membuatku kaget dan benar-benar di luar dugaanku.

 

"Ma, Dara mau makan dulu lah di sini, di rumah Nenek takut gak ada makanan enak," kata Dara.

 

Setelah itu rupanya mereka duduk dan makan dulu di sana. Saat itulah aku segera membawa Lusiana pulang karena sudah mau maghrib juga.

 

Sekitar pukul setengah 7 ketika aku masih di atas sajadah, kudengar suara motor Kak Noni terparkir di halaman rumah ibu.

 

Tanpa menunggu atau mengucap salam mereka langsung masuk membuka pintu.

 

"Bu ... Bu ... makanan basinya nih!" teriak Kak Noni sambil terdengar membanting bobot di atas sofa depan. 

 

Suaranya jelas kudengar karena aku menempati kamar Lula yang letaknya paling depan bersisian dengan ruang tamu.

 

"Pada kemana sih nih orang, Dara kamu kasih tuh kangkung ke tante mu, belom makan kali dia dari pagi, kita 'kan baru sempet ke sini," kata Kak Noni lagi.

 

Kubiarkan saja, rupanya Kak Noni belum mengetahui kedatanganku. 

 

"Ih masa Dara sih, males banget kenapa gak Bibi Lula aja yang kasih?"

 

"Heh kamu nih ngeyel terus kenapa sih? Ya udah sana kamu panggil Nenek di kamarnya, pada kemana sih nih semua orang. Lula ... Ibu ... Kak Deti!" Kak Noni berteriak.

 

Tak lama Kak Deti menghampirinya.

 

"Heh jangan teriak-teriak 'kan bisa," protesnya.

 

"Pada kemana sih kok sepi banget? Nih makanan buat si Lusiana, sekalian aja buat besok biar Noni gak usah beli lagi itu juga mahal," ujar Kak Noni tanpa jeda.

 

Kemudian Kak Deti terdengar berbisik dan memelankan suaranya, "jangan ngomong sembarangan Noni, sekarang si Sandi udah balik."

 

"Apa?" 

 

Aku mendengar keterkejutan pada suara Kak Noni. 

 

"Si S-andi udah balik? Kok bisa? Kapan? Di mana dia sekarang?"

 

 

 

"Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang."

 

"Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." 

 

"Salah siapa teleponnya gak aktif terus."

 

Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruang depan.

 

Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.

 

Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam cekung dan kulitnya juga kusam.

 

Jika memang Lusiana mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Nasir bahkan masih terlihat baru, itu artinya harusnya Lusiana belum separah ini juga.

 

Sungguh tak masuk di akal. Atau jangan-jangan sebetulnya Lusiana gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang?

 

Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan mungkin aja masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari tahu sampai sejauh mana kejahatan mereka dan apa motif di baliknya.

 

Akupun bersender di kepala ranjang sambil terus kubelai rambut Lusiana, tak terasa aku sampai ketiduran di sana.

 

________

 

Pukul sebelas malam aku terbangun.

 

Aku mengucek kedua mataku yang perih dan lengket, kutengok Lusiana ia sudah tidak ada di tempatnya.

 

"Hah kemana Lusiana? Lusiana ... Luuus."

 

Aku bangkit dan mencarinya ke sisi ranjang sebelah tapi dia tidak ada di sana, kutengok kolong ranjang, di sanapun nihil.

 

Kemana Lusiana pergi malam-malam begini? Apa dia pergi ke kamar mandi? Tapi kenapa Lusiana gak bangunin aku? Bukannya Lusiana suka ketakutan pergi sendiri?

 

Cepat kubuka pintu kamar dan bergegas mencarinya ke kamar mandi, tapi nihil juga Lusiana tidak ada di sana.

 

Kutempelkan telinga di setiap pintu kamar karena takutnya Lusiana dibawa dan dipasung lagi oleh ibu dan sodara-sodaraku tapi aku memang tak mendengar apa-apa selain suara dengkuran ibu dan Kak Deti dari dalam kamar mereka.

 

"Nasir ... pulanglah Nak, Bunda kangen."

 

Langkahku terhenti saat kudengar suara isakan Lusiana di luar rumah. Kunyalakan lampu ruang tamu dan segera kubuka pintu.

 

Benar saja Lusiana ada di sana, ia tengah terisak sambil memeluk kedua lututnya di pojok teras rumah.

 

"Ya Allah Lusiana, Abang kira kamu kemana, ayo masuk ini udah malem, ngapain di luar?" 

 

Aku berjongkok berusaha membujuknya agar ia kembali masuk. Tetapi Lusiana hanya diam mematung, ia tak menjawab atau bicara lagi. Sementara sorot matanya tampak melayang jauh entah kemana.

 

"Lus ayo masuk udah malem jangan di luar."

 

"Lus?"

 

"Lus?"

 

Lusiana tak bergerak.

 

"Lusiana!" Kuguncang agak kencang kedua bahunya, barulah ia tersentak dan menoleh ke arahku.

 

"Lus, kamu kenapa? Jangan begini Lus." 

 

Kupeluk ia kemudian, sampai tak terasa air mata lolos membasahi pipiku lagi.

 

"Jangan begini Lus, ikhlaskan yang udah pergi, Nasir udah tenang di pangkuan Allah,"  ucapku terisak-isak.

 

"Sekarang ayo kita masuk." 

 

Tetapi Lusiana menggelengkan kepalanya.

 

"Nasir belum pulang Bang, Nasir hilang," ucapnya dengan suara sumbang.

 

Kuseka air mata, betapa perih luka ini setiap kali aku melihat istriku begini.

 

"Nasir gak akan pulang lagi ke rumah Lus, ayo kita masuk ke dalam, kita tidur di kamar ya ini udah malem."

 

Lusiana melotot ke arahku, ia lalu kembali menggelengkan kepalanya.

 

"Gak boleh tidur di kamar Bang nanti Lusiana dipukul nanti Lusiana diikat dijambak gak mau Bang gak mau," cecarnya tanpa jeda dengan raut sangat ketakutan.

 

Cepat kupegang kedua bahunya, lalu kuguncang lagi, "Lusiana, Lusiana sadar! Abang ada di sini, Lusiana gak akan disiksa lagi, Lusiana gak akan diikat lagi, ada Abang di sini," tegasku seraya menatapnya serius.

 

Lusiana melemah, ia lalu memelukku dengan tangisan yang sudah pecah.

 

"Lusiana takut Bang, Lusiana gak mau masuk ke rumah Lusiana takut diikat lagi Bang, Lusiana gak gila Bang Lusiana gak gila," berondongnya lagi.

 

Ya Allah, Lusiana pasti sangat trauma karena keluargaku memasungnya.

 

"Iya iya besok kita pindah dari rumah ini ya, sekarang karena masih malem kita tidur dulu di rumah ini, Abang janji besok baru kita pergi dari sini."

 

Susah payah akhirnya aku berhasil membawanya kembali masuk ke dalam kamar, meski kedua kakinya sangat bergetar ketakutan.

 

***

 

Esok hari aku membawa Lusiana jalan-jalan ke sekitar rumah tetangga sambil mencari sarapan untuk kami pagi ini.

 

"Bu, nasi uduk dua porsi dibungkus aja, ya."

 

"Eh kapan datang kamu San? Lusiana kemana aja? Baru lihat lagi," tanya Bu Lastri, beliau adalah penjual nasi uduk dan segala macam  jenis kue basah. 

 

Letak rumahnya tak terlalu jauh dari rumah ibu, hanya terhalang 7 rumah saja.

 

"Sandi baru kemarin sore datang, oh ya emang udah lama ya Bu Lastri gak lihat istri saya?" Aku balik bertanya sambil menarik bangku plastik untuk kami duduki.

 

"Iya udah lama banget saya gak lihat si Lusiana. Si Lusiana kenapa San? Lagi sakit apa?"   tanya beliau lagi sambil sibuk membungkuskan pesananku.

 

Aku melirik ke samping, istriku tengah duduk termenung dengan pandangan kosong. Hitam di sekitar mata makin mempertegas wajah pucatnya.

 

"Emang Bu Lastri gak tahu kalau istri saya ... lagi sedikit terganggu?"

 

Tangan Bu Lastri berhenti di kaleng kerupuk, "hah gimana maksudnya?"

 

"Katanya sih Lusiana-gila," jawabku berat.

 

"Hah, gila?" Bu Lastri mengulangi, nada bicaranya mempertegas bahwa beliau kaget mendengar ucapanku.

 

"Iya, kata ibu saya Lusiana gila, makanya Lusiana jarang keluar rumah karena ibu gak biarin dia berkeliaran di luar."

 

Bu Lastri menganga, "ya Allah Ya Robbi kok bisa gila sih San? Gimana awalnya? Saya beneran baru tahu loh soal kabar si Lusiana ini."

 

Aku menghela napas berat.

 

"Katanya sih Lusiana begini saat Nasir meninggal Bu, mungkin dia syok dan stres berkepanjangan."

 

Bu Lastri menyipitkan mata.

 

"Iya saya tahu soal Nasir meninggal, kalo gak salah seminggu ke belakang katanya anak kamu itu ditemukan mengambang di sungai, tapi saya gak tahu kalau si Lusiana ... maaf, gila," ujar Bu Lastri seraya mengambil satu lagi kertas nasi.

 

"Begitulah, Bu. oh ya, Bu Lastri lihat gak pas anak saya ditemukan di sungai?" Iseng aku bertanya, karena kupikir aku harus tahu semua ceritanya dari beberapa sisi yang berbeda.

 

Apalagi rasanya aku tak bisa percaya sepenuhnya pada ibu dan sodara-sodaraku itu.

 

"Enggak San, lah wong tetangga pada tahu anakmu meninggal pas dia mau dimakamkan, udah dikafani, udah beres, kakakmu sendiri si Deti yang pangku jenazahnya ke makam," tutur Bu Lastri.

 

Aku menyipitkan mata.

 

"Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"

 

Bu Lastri diam sebentar.

 

"Enggak tahu juga kenapa harus si Deti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."

 

Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Nasir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja.

 

"Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Nasir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusiana.

 

"Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.

 

Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusiana sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Nasir meninggal itu artinya Lusiana sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.

 

Tapi kenapa ibuku bilang Lusiana gila saat Nasir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu.

 

"Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapan dulu." Aku bangkit dan memberikan uang 20 ribu pada Bu Lastri.

 

Tapi Lusiana yang masih duduk menarik lenganku lagi, "gak mau pulang, Bang, gak mau, takut," ucapnya pelan.

 

Bu Lastri menoleh ke arah istriku.

 

"Kenapa katanya San?"

 

"Lusiana selalu ketakutan kalau mau masuk ke rumah, Bu."

 

"Ya ampun, kasihan banget kamu, Nak."

 

Aku akhirnya duduk lagi, sambil menenangkan Lusiana aku kembali mengobrol dan menceritakan niatku pindah dari rumah ibu pada Bu Lastri.

 

Untunglah Bu Lastri langsung memberitahuku tentang rumah saudaranya yang katanya sedang ditinggal merantau juga.

 

"Rumahnya udah kosong setahun lalu, suami istri pergi semua ke Malaysia, kalau kamu mau nanti saya kasih kuncinya."

 

"Mau Bu mau, Sandi mau, sekarang juga kalau bisa, kasihan Lusiana kalau gak pindah hari ini Sandi udah janji."

 

Sebelum pulang ke rumah, akhirnya kami melihat rumah saudara Bu Lastri yang akan kami tempati. Dan beruntungnya lagi rumah itu sudah bersih, tinggal ditempati saja karena Bu Lastri setiap hari membersihkannya.

 

"Ya udah jadi bulan ini resmi rumahnya kamu sewa ya San?" Bu Lastri memastikan, aku langsung mengangguk dan memberinya uang panjar.

 

Selesai melihat rumah saudara Bu Lastri yang letaknya masih satu RW dengan rumah ibu kami pulang.

 

Sampai di rumah, ternyata sudah ada Kak Noni di ruang tamu, mereka tengah mengobrol bersama ibu dan Kak Deti juga Mas Yogi suami Kak Deti yang rupanya baru pulang juga dari kota.

 

Kak Yogi ini setahuku dia bekerja jadi kepala tukang dan panggilannya sudah jauh kemana-mana. Ia juga jarang pulang bisa 2 atau 3 bulan sekali gimana pekerjaannya selesai saja.

 

"Eh San, pulang kapan?" 

 

Mas Yogi langsung menyapa seraya mengulurkan tangannya, kujabat segera dan berbasa-basi.

 

Sementara di belakangku Lusiana masih seperti kemarin, ia terus saja bersembunyi dan menempel di punggungku seperti orang yang sangat ketakutan.

 

"Kemarin sore Kak, Kakak pulang kapan?"

 

"Baru tadi pagi, subuh."

 

"Ayo San duduk dulu, nih Kakak kamu si Noni mau ngomong." Ibu menimbrung.

 

Mau ngomong apa? Sejujurnya aku sudah malas dengan mereka semua. Semuanya bangkai dan busuk.

 

"Maaf Bu, kami mau sarapan dulu, kasihan Lusiana belum sarapan."

 

Aku nyelonong ke belakang menarik tangan Lusiana, walau kutahu mereka akan membicarakan sikapku ini. Biar saja aku sudah tak peduli.

 

_____

 

Saat aku sedang menyuapi Lusiana di meja makan, Kak Noni datang menghampiri. Baru saja ia aka duduk di samping istriku, Lusiana sudah melonjak dari kursinya.

 

"Eh kenapa bangun?" Kak Noni terkejut.

 

Lusiana menggelengkan kepala sambil menarik lenganku agar aku pergi dari sana.

 

"Maaf Kak, bisa tolong pergi dulu gak? Kami mau sarapan dulu," ucapku.

 

Kak Noni dengan wajah kesal akhirnya pergi lagi.

 

Kulanjutkan sarapan, setelah selesai kubawa Lusiana ke kamar dan kusuruh ia tidur lagi. Barulah setelah itu aku menemui saudara-saudaraku di ruang depan.

 

"Ada apa tadi, Kak?" tanyaku pada kak Noni seraya duduk di kursi yang bersisian dengan Kak Yogi.

 

Kak Noni cepat merespon pertanyaanku, "gini loh San, si Dara itu loh ngamuk-ngamuk mau ikut camping katanya biayanya 1 juta lebih, mana Kakak belum ada uang kalau segitu." 

 

Aku mengerling. Sudah dapat kuduga, mereka emang begitu, jangankan sekarang ketika aku ada di kampung, sedang ada di Taiwan saja hampir tiap seminggu 4 kali mereka menghubungi untuk minta atau minjam uang.

 

"Kalau gak ada uangnya gak usah dikasih lah Kak, ngapain maksain diri? Sekali-kali anak-anak model Dara dan Lula itu harus dikasih tahu gimana susahnya nyari duit," jawabku kecut.

 

Kak Noni menarik napas berat lalu melirik ke arah ibu.

 

"Kasihlah kalau kamu ada San, kamu 'kan baru datang uangmu masih banyak pastinya," kata Ibu kemudian, membela anak perempuannya.

 

"Maaf Bu, uang Sandi mau Sandi belikan rumah."

 

Mereka semua menoleh ke arahku, "beli rumah?" tanya Kak Deti setengah kaget.

 

"Iya, kenapa?"

 

"Rumah buat apa sih San? Kamu 'kan mau ke Taiwan lagi, sayang uangnya meningan entar aja, nanti kalau rumahmu itu keburu rusak gimana?" Ibu menyahut lagi.

 

Aku menyenderkan bobot dengan santai. "Rumah buat Lusiana tentu aja, dia 'kan istriku, rumah adalah kewajiban suami 'kan? Lagian siapa juga yang mau pergi lagi ke Taiwan?" 

 

Mereka mengerutkan kening dengan wajah tak santai. Biarlah mereka tahu aku yang selama ini dijadikan sapi perah untuk mereka kini tak akan lagi menanggung hidup mereka walau sedikit.

 

"Lusiana gila San, dia harus diobati karena itu kamu perlu nyari uang lagi yang banyak," kata Kak Noni lagi.

 

Kutanggapi dengan senyuman miring. Jika biasanya aku langsung percaya begitu saja pada mereka tapi kali ini enggak. 

 

Cukup dulu saja, dengan gampangnya mereka menyuruhku ke Taiwan, mereka bilang agar kehidupan Lusiana dan Nasir yang usianya baru setahun kala itu bisa terjamin, tapi nyatanya mana? Semua malah sia-sia dan bahkan aku menyesal telah berangkat ke sana.

 

"Siapa bilang Lusiana gila? Dia sehat kok, cuma sedikit stres aja karena kalian sering memperlakukannya seperti binatang," tukasku.

 

Semua orang menyeringai.

 

"Maksud kamu apa Sandi?" Ibu tak terima.

 

Lagi, aku mengulum senyum kecut. "Kalian pikir Sandi gak tahu setiap hari kalian kasih istriku makanan sisa dari warteg 'kan?"

 

Mata Kak Noni yang membulat, ia juga tampak menelan ludahnya diam-diam.

 

"Kenapa Kak Noni? Kaget? Sandi udah tahu semuanya, semua perlakuan kalian sama istriku, Lusiana gak gila karena anaknya meninggal, tapi kalianlah yang udah buat dia gila!" sengitku, emosiku mulai terasa naik ke ubun-ubun.

 

"Sandi! Jaga mulut kamu! Jangan asal nuduh ya, emangnya kamu tahu dari mana kalau kamilah yang udah buat istrimu gila?!" sentak Ibu lagi, tak terima.

 

"Mungkin dari istrinya yang gila." Kak Deti tersenyum miring seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.

 

Aku menatapnya, di antara orang-orang yang kini hadir dan sedang terlibat obrolan panas, hanya wajah Kak Deti yang sangat tidak santai, ia menunjukan wajah tak sukanya dengan terang-terangan padaku di saat semua orang berusaha bersikap manis agar rahasia mereka tak terbongkar.

 

"Kak Deti! Istriku gak gila! Sekali lagi Sandi tegaskan Lusiana gak gila, apa kalian dengar?"

 

"Ambil aja istri gilamu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Deti sama tegasnya denganku.

 

Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusiana itu lalu pergi dari hadapan kami.

 

"Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah. Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.

 

Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli.

 

"Hari ini Sandi dan Lusiana mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.

 

Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?"

 

"Di sini kan ada Kak Deti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu."

 

Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama kesalnya menatapku tajam.

 

Akhirnya obrolan panas kami berhenti karena Kak Noni pamit pulang lebih dulu setelah kutegaskan aku tidak bisa memberinya uang pinjaman lagi.

 

________

 

Siang hari, kukemas baju-baju Lusiana yang masih layak pakai, ia juga duduk di hadapanku sambil membantu melipat baju-bajunya.

 

"Beresin cepet ya, kita mau pindah dari rumah ini."

 

"Pindah, Bang?" Lusiana memastikan dengan mata yang berbinar.

 

Aku sampai terkejut tatkala mengangkat wajah ia juga tengah mengulum senyuman yang tak kulihat sejak aku datang kemarin.

 

"Iya kita mau pindah, Lusiana seneng 'kan?" Aku meraih pipinya sambil membalas senyum bahagia. 

 

Lusiana mengangguk. Cepat-cepat ia memasukan baju-bajunya ke dalam tas yang ada di atas kasur. Senyum dan kebahagiaan tampak bersinar di wajahnya, sampai tak terasa mataku berkaca-kaca.

 

"Ya Allah Lus, Abang hampir aja putus asa karena kamu sakit, tapi ternyata semudah itu menyembuhkanmu, kamu hanya butuh bahagia 'kan? Iya 'kan Lus?" Kuelus kedua pipinya.

 

Tapi-setelah itu ia malah tertawa lagi seperti orang gila pada umumnya. 

 

Nyaliku kembali ciut, tapi aku tidak boleh menyerah masih ada harapan selama Lusiana masih bisa bicara aku yakin aku pasti bisa menyembuhkannya seperti dulu.

 

Setelah selesai berkemas, aku berniat pamit ke kamar ibu, barulah setelah itu kubawa Lusiana keluar dari rumah itu.

 

"Tunggu di sini sebentar ya, Abang mau pamit dulu ke Ibu." 

 

Lusiana mengangguk. Aku berjalan cepat ke kamar ibu.

 

"Bukan masalah kalian bisa jagain Ibu atau enggak, tapi siapa yang akan bertanggung jawab atas pengeluaran rumah ini? Kebutuhan Ibu? Biaya sekolah Lula? Apa kalian sanggup, hah?!" Suara ibu yang tengah marah-marah di dalam kamar membuat langkahku kembali mati, tangan yang sudah kuangkat untuk mengetuk pintu pun kutarik lagi.

 

"Soal uang 'kan Ibu bisa usahakan sendiri, gimana aja caranya supaya si anak emas itu mau kasih, yang penting  Ibu jangan larang-larang dia buat pergi dari sini, malah bagus 'kan? Supaya Mas Yogi juga enggak jelalatan lagi sama si gila itu," tegas Kak Deti.

 

"Diam kamu Deti! Suamimu juga sama gak ada gunanya, kalau kamu mau si Sandi itu pergi dari rumah ini, kamu harus pastikan hidup Ibu dan sekolah si Lula terjamin, dan minta uang yang banyak sama suamimu itu."

 

Ada apa ini? Kenapa ibu dan Kak Deti malah adu mulut?

 

Aku semakin menajamkan indra pendengaranku tatkala obrolan ibu dan Kak Deti di dalam semakin sengit kudengar.

 

"Najis, gak sudi Deti minta uang sama si pengkhianat hidung belang itu, yang ada bakal Deti racun dia nanti karena berani balik lagi ke rumah ini." 

 

Aku menyeringai. Omongan Kak Deti kenapa begitu? Apa dia sedang ada masalah sama Kak Yogi? Tapi tadi pagi kelihatannya mereka baik-baik aja.

 

"Deti! Jangan nekat kamu, jangan sampai kesalahanmu itu terulang lagi, atau nanti kita bener-bener habis dipenjara." Suara Ibu makin meninggi dan penuh penekanan.

 

"Biarin dipenjara asal Deti puas bikin mereka gila dan mati bila perlu!" sengit Kak Deti lagi, sejurus kemudian pintu kamar sudah dibukanya kencang. Kak Deti lalu berlari ke kamarnya.

 

Aku masih diam di sisi pintu kamar ibu. Baru saja aku akan melangkah masuk, kudengar suara gaduh di kamar Kak Deti.

 

"Pergi kamu pengkhianat! Lelaki bajingan, lelaki tukang selingkuh, mau kau kubuat gila seperti kubuat gila selingkuhanmu itu?"

 

Preng preng. 

 

Kemudian kudengar suara kosmetik berhamburan ke lantai.

 

"Deti! Bisa gak kamu jangan teriak-teriak begini?!" sentak Kak Yogi kemudian.

 

"Pergi kamu!"

 

Bughh. 

 

Kak Yogi lalu didorong keluar oleh Kak Deti hingga ia terjerembab ke lantai. Aku refleks menolongnya.

 

"Hati-hati, Kak. Gak apa-apa kan?" tanyaku. Kak Yogi malah tampak terkejut dengan keberadaanku di belakangnya.

 

"I-iya gak apa-apa, gak apa-apa," jawabnya tergagap, ia lalu melengos pergi ke teras.

 

Sementara aku memutuskan ke kamar ibu agar urusanku cepat selesai.

 

"Bu, Sandi mau pamit."

 

Ibu yang tengah memijit kepalanya di atas kasur tak menjawab. Setelah menunggu berapa detik akhirnya kuputskan keluar lagi saja. Ibu tampaknya benar-benar tak suka jika aku pindah dari rumah ini.

 

Di teras Kak Yogi masih duduk termenung, aku menghampirinya sebentar.

 

"Kak Deti emang begitu kalau lagi marah, Kak Yogi yang harus banyak sabar."

 

Kak Yogi melirik dan hanya membalas dengan senyuman sumbang. 

 

Aku lalu duduk di kursi sampingnya.

 

"Kalau boleh tahu, emangnya kalian lagi ada masalah apa?"

 

Kak Yogi merubah raut wajahnya seraya mengibaskan tangan.

 

"Ah cuma masalah biasa," katanya ringan.

 

Aku mengernyit, entah harus percaya atau tidak dengan ucapannya itu, tadi kulihat mereka bertengkar hebat, sekarang Kak Yogi bilang hanya masalah biasa. Ah tapi ya sudahlah, ngapain juga aku peduli?

 

Aku pun kembali ke kamar, dan lagi-lagi aku terkejut saat mendapati istriku tidak ada di atas kasur.

 

"Lus ... Lusiana." Kutengok kolong ranjang, ia tak ada di sana.

 

Kutengok lagi sisi ranjang sebelah dan untunglah Lusiana ada di sana, tetapi ia tengah ketakutan memeluk lututnya.

 

"Lusiana ngapain di sini? Lusiana kenapa?" Pelan aku bertanya.

 

Lusiana langsung berhambur memeluk dan mencengkram punggungku.

 

"Abang ada orang jahat, ada orang jahat Bang, ada orang jahat," katanya.

 

"Istighfar Lusiana, orang jahat siapa? Di sini gak ada siapa-siapa." Aku mengguncang kedua pipinya.

 

"Di luar Bang, di luar." Ia menunjuk ke arah jendela.

 

Post a Comment

أحدث أقدم